Senin, 08 Februari 2016

Bunga Wijaya Kusuma (Epiphyllum Oxypetalum)

  















































 






Bunga wijayakusuma (Epiphyllum oxypetalum) disebut juga sebagai bunga ‘ratu malam’ dan bakawali (Melayu). Dalam bahasa Inggris kerap dinamai sebagai Dutchman’s Pipe, kardable, dan Night Queen. Epiphyllum oxypetalum, mempunyai beberapa sinonim, diantaranya adalah :

    Cactus oxypetalus Moc. & Sessé ex DC.
    Cereus latifrons Zucc.
    Cereus oxypetalus DC.
    Epiphyllum acuminatum K.Schum.
    Epiphyllum grande (Lem.) Britton & Rose
    Epiphyllum latifrons (Zucc.) Pfeiff.
    Epiphyllum oxypetalum var. purpusii (Weing.) Backeb.
    Epiphyllum purpusii (Weing.) F.M.Knuth
    Phyllocactus acuminatus (K. Schum.) K. Schum.
    Phyllocactus grandis Lem.
    Phyllocactus latifrons (Zucc.) Link ex Walp.
    Phyllocactus oxypetalus (DC.) Link
    Phyllocactus purpusii Weing.

Ciri dan Karakteristik Bunga Wijayakusuma

Tumbuhan wijayakusuma merupakan spesies anggota kaktus (famili Cactaceae). Batangnya, berbentuk silindris, terbentuk dari helai daun tua yang mengecil dan mengeras. Tinggi batang dapat mencapai hingga 3 meter. Daun wijaya kusuma berbentuk pipih dan memanjang, berwarna hijau dengan permukaan halus tanpa duri dan tepi daun yang bergelombang. Panjang daun berkisar antara 10-15 cm. Pada tepi daun ini dapat tumbuh daun baru ataupun bunga.

Bunga wijaya kusuma muncul dari tepi daun berupa kuncup yang makin lama makin panjang tangkai bunganya hingga bunga itu menjuntai ke bawah. Bunga berdiameter 10 cm berwarna putih dan berbau wangi. Sedangkan tangkai dan kuncup bunga berwarna merah muda. Wijayakusuma mempunyai buah berbentuk bulat, berwarna merah dengan biji hitam. Perkembangbiakannya bisa menggunakan biji maupun stek daun.

Meski terkenal di Indonesia, khususnya Jawa, bunga wijaya kusuma bukanlah tanaman asli Indonesia atau malah tanaman endemik Indonesia. Tanaman ini berasal dari daratan Amerika Selatan yang kemudian tersebar ke berbagai wilayah di dunia termasuk ke Indonesia. Konon bunga ini masuk ke Indonesia melalui China pada masa kerajaan Majapahit.

Keunikan wijayakusuma yang kemudian menjadikannya sarat dengan mitos adalah kebiasaan berbunganya yang hanya terjadi di malam hari. Kuncup bunga mekar pada tengah malam dan sudah layu menjelang pagi hari. Karena itulah wijayakusuma disebut sebagai ratu malam atau night queen.

Tanaman ini dapat tumbuh di daerah dengan iklim sedang hingga tropis.


Legenda dan Mitos :

Bunga Wijaya Kusuma (Pisonia Grandis var. Silvestris) konon memiliki hubungan dengan beberap versi cerita legenda yang cukup terkenal terkait Pulau Nusakambangan. Dan sebagai pemilik nama kembaran yang hampir sama, bunga Wijaya Kusuma (Epiphyllum oxypetalum) kerap disangkakan juga sebagai objek yang diceritakan dalam beberapa versi cerita rakyat tersebut. Padahal jika dilihat dari sejarah dan asal usul keduanya, setiap legenda tentang bunga ini lebih mengacu kepada bunga Wijaya Kusuma (Pisonia Grandis var. Silvestris), dan bukan Wijaya Kusuma (Epiphyllum Oxypetallum).

Beberapa cerita legenda tersebut kami coba menuturkannya di sini sebagai bahan pengenalan terhadap kedua kekayaan hayati langka yang ada di Indonesia tersebut .

Cerita Rakyat versi pertama :
Ceritanya bermula dari seorang puteri Adipati Bandapati yang memerintah di Kadipaten Bonokeling, bernama Raden Ayu Bandawati. Ia sangat cantik, molek, berbudi bahasa halus dan sangat lemah lembut, sehingga banyak yang ingin memilikinya.

Akhirnya, untuk meminang puteri tersebut diadakanlah sayembara yaitu dengan menahan semua kesaktian dan senjata pusaka Adipati Bandapati.

Akhirnya sayembara itu dimenangkan oleh Raden Pucangkembar yang merupakan putera dari Kyai Ageng Giri. Sang Raden Pucangkembar pun akhirnya menikahi Raden Ayu Bandawati.

Walau sudah bersuami dan memiliki 3 orang anak, Raden Ayu Bandawati masih dikejar Adipati-adipati yang lain untuk dijadikan isteri. Akhirnya Raden Ayu Bandawatipun menjelma sebagai setangkai bunga bernama Bunga Wijaya kusuma.


Cerita rakyat versi kedua menyebut terkait kisah pewayangan :

Konon bunga Wijayakusuma ini adalah jimat atau senjata ampuh istimewa milik Sri Bathara Kresna, Putra panengah (anak di tengah-red) Prabu Basudewa yang berasal dari kerajaan Mandura. Disebutkan pula, Bathara Kresna itu adalah sosok raja yang bijaksana dari negara Dwarawati.
Kembang Wijaya kusuma yang istimewa ini, konon hanya dipakai untuk membantu para putra Pandawa pada saat kondisi genting dan terdesak.

Sri Bhatara Kresna dalam dunia wayang dianggap sebagai titisan Sang Hyang Wisnu, yang kemudian melakukan muksa (mati menghilang-red). Konon suatu ketika Kresna ini yang melempar bunga Wijaya kusuma ini ke Laut kidul atau samudera Indonesia yang kalau dilihat sekarang lebih dekat dengan pulau Nusakambangan.

Bunga ini dilemparkan bersama tempat sejenis potnya. Tutup pot yang berbentuk bundar, konon mewujud menjadi pulau Majeti, sementara tempat di bagian bawah bisa menjadi pulau karang Badong.

Kalau dilihat dalam peta dan lokasi sekarang, dua pulau ini juga masih berdekatan dengan pulau Nusakambangan. Dan konon hanya di pulau ini pulalah bunga ini dapat berbunga dan merupakan tempat asalnya bunga wijaya kusuma.

Yah, bagaimanapun kisahnya, yang jelas bunga ini tergolong istimewa dan memiliki kisah yang berhubungan dengan para pembesar, termasuk keraton Yogyakarta dan juga Surakarta. Bahkan kalau diurut lagi bisa sampai pada zaman Prabu aji Pramosa di Kediri Jatim hingga kesultanan berikutnya.


Legenda Kembang Wijaya Kusuma versi ketiga ini disusun oleh Daniel Agus, berikut ini ceritanya :
Pada zaman dahulu, menurut legenda, ada setangkai kembang, atau bunga yang tidak pernah layu sepanjang musim. Bunga langka itu, konon, tidak hanya berkhasiat menyembuhkan aneka penyakit, tetapi juga menghidupkan orang mati. Orang- orang terdahulu percaya, asal muasal bunga ajaib itu dari benang sari Bunga Wijaya Kusuma milik dewa Wisnu di kayangan, yang jatuh dan tumbuh di dunia.
Bunga dewata inilah yang kemudian dicari orang untuk dijadikan jimat agar pemiliknya hidup abadi di dunia.

Pada suatu ketika, ada seorang raja dari Tanah Jawa yang bermimpi menemukan bunga Wijaya Kusuma tumbuh di sebuah pulau karang di laut selatan.

“Aku bermimpi ! Aku tak bisa mati !” teriak raja dalam tidurnya.

“Ada apa, Kanda? Siapa yang tak bisa mati ?” tanya permaisuri yang terbangun karena teriakan suaminya.

“Ah, Dinda. Kita akan hidup selamanya. Aku tahu di mana tempat Kembang Wijaya Kusuma berada,” jawab baginda yang kemudian menceritakan perihal mimpinya.

Keesokan harinya, baginda segera memanggil semua punggawa kepercayaannya. Mereka diperintahkan memetik Bunga Wijaya Kusuma yang tumbuh di Pulau Karang di Laut Selatan, yang dikenal sebagai Pulau Karang Badong.

“Tetapi Baginda, bunga itu tidak bisa dipetik pada sembarang waktu,” kata penasihat istana.

“Apa maksudmu tidak bisa dipetik sepanjang waktu?” tanya raja tidak senang.

“Maksudnya bunga itu hanya bisa dipetik ketika cuaca di langir sedang cerah dan Laut Selatan sedang tenang…”

“Ah, kamu sungguh bodoh, kalau aku menunggu saranmu, bunga itu sudah diambil orang !” kata raja tak dapat dibantah lagi.

Akhirnya, tanpa mampu menolak perintah raja, serombongan punggawa kerajaan berangkat meninggalkan istana menuju Laut Selatan.
Sebenarnya, mereka pergi dengan dibayangi rasa waswas dan ketakutan.

Petugas istana pernah menyatakan bahwa siapa pun yang melanggar pantangan akan mendapat malapetaka, bukan panjang umur.

Sampai di pantai Laut Selatan, perasaan mereka bertambah kecut. Ketika itu, ombak pantai Laut Selatan bergelora setinggi bukit. Pulau Karang Badong yang ada di tengah samudera kadang tampak dan kadang lenyap terhalang gelombang.
Suasana yang demikian memang bukan saat yang tepat memenuhi perintah raja.

Di tengah rasa bingung dan keputusasaan itu, mereka melihat seorang nelayan duduk merenung sambil memandangi laut yang bergelora. Para punggawa kerajaan itu segera menghampirinya.

“Kenapa engkau duduk melamun seorang diri di sini? Mana nelayan yang lain ?” tanya para punggawa utusan raja itu.

“Oh, maafkan hamba, Gusti. Hamba hanya sedang merenungi nasib,” jawab nelayan itu terbata-bata dan tidak mengingat pertanyaan para utusan raja itu.

“Merenungi nasib ? Memangnya kenapa dengan nasibmu ?” desak para punggawa raja.

“Hamba benar-benar menjadi nelayan yang tak berguna, Gusti. Hamba seorang nelayan, tetapi tidak memiliki perahu,” ujar nelayan itu mengiba.

Mendengar jawaban nelayan itu, para utusan raja berseri-seri wajahnya. mereka menemukan pemecahan masalah yang dihadapinya.

“Baik, aku akan mengubah nasibmu,” kata para utusan raja itu bersungguh-sungguh.

“Mengubah nasib hamba, Gusti?”

“Benar. Jangankan perahu, lebih dari itu kamu akan memilikinya. Asalkan…”

“Asalkan apa, Gusti. Katakanlah…,” sahut nelayan itu tak sabar.

“Asalkan kamu bisa mengambil Kembang Wijaya Kusuma…,”

“Kembang Wijaya Kusuma yang tumbuh di Pulau Karang Badong itu, Gusti ?” tegas nelayan itu.

“Benar, apakah kamu tahu ?”

“Hamba tahu gusti, tetapi sangat berbahaya sekarang ini untuk pergi ke sana,” jawab nelayan itu.

Namun, pada akhirnya, nelayan itu pergi juga karena tergiur banyaknya hadian yang akan diterima. Dengan meminjam perahu milik saudaranya, nelayan itu nekat menempuh ganasnya ombak Pantai Laut Selatan menuju Pulau Karang Badong, tempat tumbuhnya Kembang Wijaya Kusuma.

Nelayan itu harus benar-benar mengerahkan segenap keberanian dan keterampilannya agar bisa sampai ke Pulau Karang Badong. Begitu sampai, nelayan itu cepat-cepat mendaki tebing tinggi untuk segera bisa memetik bunga langka itu.

Akan tetapi, begitu dia berhasil memetiknya, tiba-tiba saja di sekelilingnya sudah berdiri wajah-wajah menyeramkan. Wajah-wajah setan juga ingin memiliki bunga dewata agar bisa hidup selamanya.

“Ha…apakah kamu sudah bosan hidup berani memetik bunga itu! Ayo serahkan bunga itu ?” teriak setan-setan berwajah seram itu.

“Tidak, bunga ini untuk raja,” kata nelayan itu sambil berlari menerobos kepungan setan-setan itu dengan senjata parangnya.

Nelayan itu terus berlari menuju perahunya. Namun, betapa kecewanya ketika ia melihat perahunya sudah berkeping-keping dihantam ombak di antara baru karang. Tubuh nelayan itu langsung menggigil ketakutan membayangkan nasibnya, mati ditelan ganasnya ombak Laut Selatan, atau dibunuh oleh setan penunggu Pulau Karang Badong.

Akhirnya, ketika para setan yang mengejarnya semakin dekat, nelayan itu tidak punya pilihan lagi.

“Oh Dewa, tolonglah hambamu ini!” teriak nelayan itu dan kemudian menceburkan diri ke dalam ombak yang bergulung-gulung.
Tubuh nelayan itu timbul tenggelam dalam gulungan ombak. Namun jiwa nelayannya menjadikan dia tidak menyerah. Dengan sekuat tenaga, dia berenang meraih sebuah papan yang rupanya berasal dari pecahan perahu miliknya.

Nasib baik masih bersama nelayan itu. Dengan memeluk erat-erat pecahan papan, tubuh nelayan itu ditemukan oleh para punggawa dalam keadaan sekarat pada keesokan harinya.

Namun, para utusan raja itu ternyata tidak bertanggung jawab untuk memenuhi janjinya.
Mengetahui keadaan nelayan yang sekarat, para utusan raja itu hanya mengambil Kembang Wijaya Kusuma, sementara tubuh nelayan yang malang itu dibiarkan begitu saja.

Namun, pada akhirnya, raja dan punggawa yang telah berani melanggar pantangan itu harus menanggung akibatnya. Satu per satu punggawa raja itu mati tanpa diketahui sebabnya yang pasti. Sementara itu, raja sendiri menjadi gila dan meninggalkan istana.

Nelayan yang semula begitu mengutuk para utusan raja yang telah membohonginya, akhirnya masih dapat bersyukur. Dia bersyukur meskipun tidak mendapatkan perahu. Jiwanya masih selamat.

Lalu, bagaimana nasib Kembang Wijaya Kusuma itu ? Bunga itu menghilang secara gaib, kembali kepada para dewa. Maka sampai zaman ini, konon pemetikan bunga Wijaya Kusuma yang akan dipergunakan untuk sarana upacara pengangkatan raja baru di kraton Surakarta maupun kraton Ngajogyakarta (Yogyakarta) kerap dilakukan secara ghaib pula untuk meminta dengan beradab dari penghuni alam gaib.


Legenda versi keempat tentang Bunga Wijaya Kusuma :

Legenda ini bercerita tentang adanya seorang perempuan dari sebuah kerajaan yang lari mengasingkan diri ke pantai selatan. Sang putri lari karena tidak ingin dinikahkan.

Pengasingan diri yang dilakukannya ini, kemudian membuatnya melakukan tapa dan meminta ketentraman kemudian menyeburkan diri ke laut.

Menurut cerita, si putri ini mengandung dalam alam gaib dan anak yang dilahirkan cacat dan sosok anak ini digambarkan sebagai bunga wijaya kusuma yang sewaktu-waktu berubah menjadi orang cacat.

Hingga saat ini, banyak orang utamanya dari kalangan paranormal yang percaya banyaknya orang yang hilang atau tenggelam di pantai selatan karena banyak yang 'sembarangan' tidak menghormati penguasa gaibnya.

Sebenarnya ada syarat yang tidak banyak diketahui orang saat mandi di pantai daerah selatan seperti di Pantai Nusawungu. Di sana ada tempat air tawar yang menjadi syarat sebelum mandi di pantai. Banyak orang yang hilang karena tidak melakukan syarat tersebut.


Cerita rakyat menyangkut bunga Wijaya Kusuma versi kelima :
Konon, Jaman dahulu kala di daerah Jawa Timur (Kediri) ada Maha Raja yang menyandang gelar Prabu Aji Pramosa. Raja tersebut memiliki watak keras, beliau pantang tunduk kepada siapapun. Raja tersebut tidak suka setiap ada orang di negaranya yang kelihatan menonjol atau mempunyai pengaruh. Petugas sandi (intel) Kerajaan disebarkan di setiap penjuru kerajaan dan akhirnya ada laporan bahwa di dalam kerajaan tersebut ada “Resi” yang sudah terkenal karena kesaktiannya.
Resi tersebut bernama Resi Kano, yang bergelar “Kyai jamur”.
Kesaktian Kyai Jamur akhirnya terdengar di telinga Raja. Raja Prabu Aji Pramosa sangat bingung jika hendak menangkap rakyat yang tidak punya salah itu harus ada buktinya. Akhirnya raja mengundang Patih Hulubalang, Senapati dan pejabat utama kerajaan tujuannya mencari cara untuk mengatasi Kyai sakti tersebut.
Setelah mendapat saran dari pajabat kerajaan, raja langsung memutuskan : Untuk menjaga keselamatan kerajaan dan raja, Kyai Jamur harus diusir dari kerajaan atau dibunuh sekalian, seperti itulah titah sang raja.

Berita rencana raja tersebut cepat tersebar, akhirnya juga terdengar oleh Kyai Jamur. Beliau memutuskan sebelum utusan kerajaan tiba, beliau harus mendahului meninggalkan negeri itu.
Mendengar bahwa Kyai Jamur sudah tidak ada di tempatnya, sang Aji Pramosa tambah jengkel, Raja terus memberikan perintah kepada “punggawa” kerajaan agar mengejar dan menangkap Kyai Jamur, Resi harus dipenjara. Sebagai alasan Raja, Resi dianggap salah karena pergi tanpa izin kepada raja.
Sang Resi berjalan terus sepanjang pantai laut selatan yang akhirnya sampai pada tempat yang bernama Cilacap, Resi merasa bahwa Cilacap sepertinya daerah yang aman sebagai persembunyian dari pengawasannya Raja.

Raja tidak pernah berhenti mencari dan mengejar Sang Resi pokoknya harus tertangkap. Sesudah dicari kemana-mana akhirnya Raja menemukan persembunyian Resi Aji Pramosa dan pasukannya sampai ketika waktu Resi bertapa. Mengetahui Resi sedang bertapa, tanpa menyia-nyiakan kesempatan, Sang Resi langsung di tangkap terus dibunuh. Tapi karena Sang Resi adalah orang sakti mandraguna jasadnya menghilang (moksa=Bhs.Jawa).
Raja menjadi heran beserta ketakutan. Belum hilang ketakutannya, Raja dibuat kaget lagi dengan adanya suara gemuruh angin rebut di tengah laut.
Aji Pramosa berusaha tetap tenang menghadapi berbagai peristiwa yang mengerikan itu. Suara gemuruh dan anginpun reda, namun pada saat yang sama datanglah seekor naga besar mendesis-desis seolah-olah hendak melahap Aji Pramosa.
Gelombang laut menjadi besar bergulung-gulung, hingga banyak penyu (kura-kura) menepi ke tepi pantai. Pantai itu dikemudian hari disebut Pantai Telur Penyu.
Dengan sigapnya sang Aji Pramosa segera melepaskan anak panahnya, ternyata tepat mengenai sasaran, perut nagapun robek terkena panah dan naga hilang tergulung ombak.

Rupanya naga tadi jelmaan dari seorang putri cantik yang muncul dengan tiba-tiba sambil berlarian di atas gulungan ombak dari arah timur pulau Nusakambangan.
Sang putri ayu menghampiri Aji Pramosa sembari mengucapkan terima kasih karena berkat panahnya ia bisa menjelma kembali menjadi manusia. Sebagai rasa terima kasih, putri cantik tadi menghaturkan bunga Wijaya Kusuma kepada sang Aji Pramosa.

Sang putri mengatakan “kembang Wijaya kusuma tidak mungkin bisa diperoleh dari alam biasa, barang siapa memiliki kembang itu bakal menurunkan raja-raja yang berkuasa di tanah Jawa”.

Selanjutnya putri cantik memperkenalkan diri, namanya Dewi Wasowati. la berpesan, kelak pulau ini akan bernama Nusa Kembangan. Nusa artinya pulau dan Kembangan artinya bunga.
Seiring pergantian jaman, nama Nusa Kembangan akhirnya berubah menjadi Nusakambangan. Prabu Aji Pramosa sangat girang hatinya menerima hadiah kembang itu, kemudian dengan tergesa-gesa ia mengayuh dayungnya untuk kembali menuju daratan Cilacap, tetapi karena terlalu gugup dan kurang hati-hati, kembang itu jatuh ke laut dan hilang tergulung ombak. Dengan sangat menyesal sang Aji Pramosa pulang tanpa membawa kembang.

Beberapa lama setelah sang Prabu berada di kerajaan, terbetik berita bahwa di pulau karang dekat Nusakambangan tumbuh sebuah pohon aneh dan ajaib, beliau pun ingin menyaksikan pohon aneh yang tidak berbuah itu dan ternyata benar bahwa pohon itu tidak lain adalah Cangkok Wijaya kusuma yang ia terima dari Dewi Wasowati.

Melihat pohon itu, sang Aji Pramosa teringat akan kata- kata Dewi Wasowati bahwa siapa yang memperoleh kembang Wijaya kusuma akan menurunkan raja-raja di tanah Jawa.
Peristiwa terjadinya kembang Wijaya kusuma pada jaman Prabu Aji Pramosa dari Kediri itu setelah bertahun- tahun menimbulkan kepercayaan bagi raja-raja di Surakarta dan Yogyakarta.

Menurut cerita, setiap ada penobatan raja baik Susuhunan Surakarta maupun Kesultanan di Yogyakarta mengirim utusan 40 orang ke Nusakambangan untuk memetik kembang Wijaya kusuma.

Sebelum melakukan tugas pemetikan, para utusan itu melakukan ziarah ke makam-makam tokoh leluhur di sekitar Nusakambangan seperti pasarehan Adipati Banjaransari di Karangsuci, Adipati Wiling di Donan, Adipati Purbasari di Dhaunlumbung, Kyai Singalodra di Kebon Baru dan Panembahan Tlecer di Nusakambangan.
Tempat lain yang juga diziarahi yaitu pasarehan Kyai Ageng Wanakusuma di Gilirangan dan Kyai Khasan Besari di Gumelem (Banjarnegara). Selain ziarah atau nyekar, mereka melakukan tahlilan dan sedekah kepada fakir miskin.
Malam berikutnya “nepi” (bermalam) di Masjid Sela. Masjid Sela adalah sebuah gua di pulau Nusakambangan yang menyerupai Masjid.


Demikianlah beberapa kisah/cerita legenda rakyat menyangkut bunga Wijaya Kusuma. Mungkin di luar sana masih banyak lagi versi cerita lainnya tentang bunga Wijaya Kusuma yang beraroma harum lembut ini.
Semua hal, yang hidup maupun yang mati, makhluk maupun benda memang tak lepas dari sejarah dan asal usulnya, namun ada beberapa yang menjadi istimewa dan mendapat perhatian khas dari kebanyakan orang didorong oleh ke-khas-an dan keistimewaan hal tersebut. Demikian pula sejarah asal usul kembang Wijaya Kusuma ini menjadi khas, karena bunga ini memang khas dan mendapat perlakuan berbeda dari tanaman/bunga lainnya oleh segolongan orang yang dihormati dan dipertuahkan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar